Sejarah

Asal-Usul Desa Sukolilo

Asal usul Desa Sukolilo yang sebelumnya desa Kincang terbagi menjadi dua yakni, desa Kincang Wetan dan desa Kincang Kulon. Desa Kincang Kulon inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Desa Sukolilo. Sebelum masa penguasaan Jepang masuk di desa Kincang Kulon, desa tersebut masih dalam kehidupan tentram aman damai tidak ada masalah sedikitpun dimasyarakat Kincang Kulon. Tetapi kondisi ini berubah ketika kedatangan Jepang menjajah Indonesia. Kedudukan Jepang masuk di desa Kincang Kulon memiliki tujuan untuk melanjutkan rencana pemerintahan Hindia Belanda untuk pelebaran pangkalan udara, yang sekarang ini dikenal sebagai “Lanud Iswahyudi” dan termasuk pula menggusur wilayah Desa Kincang Kulon dan sekitarnya. Saat Jepang menguasai desa Kincang Kulon untuk pelebaran pangkalan udara seluruh masyarakat di desa Kincang Kulon, tidak ada satupun yang menerima ganti kerugian atas tanah dan perkebunan yang dimilikinya. Atas kejadian tersebut dipindahkan ke Desa Kincang Wetan yang melibatkan semua warga memindahkan tempat tinggalnya kayu, dan perabotan lainnya ke desa baru tersebut  pada saat itu dan diberi nama Desa Sukolilo. Pemerintahan desa saat itu dipimpin oleh Kepala Desa yang bernama Bapak Prawironihardjo dan terbentuklah desa baru tersebut pada tanggal 2 Desember 1943 dan diberi nama dengan sebutan Desa Sukolilo.

TELAAH SEJARAH KI AGENG RENDENG DI SUKOLILO MADIUN

Prabu Mantolo Ngaglik merupakan salah satu raja dikerajaan Pejajaran. Dimana dalam kerajaan tersebut mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu-Budha. Begitupun dengan seluruh keturunan Prabu Mantolo juga ikut serta dalam keyakinan yang diwariskan secara turun temurun. Prabu Mantolo dianugrahi seorang putri yang bernama Dewi Ambarsari. Setelah beranjak dewasa, Dewi Ambarsari dipinang oleh seorang putra keturunan dari kerajaan Majapahit yang bernama Prabu Pamengkas. Pernikahan Dewi Ambarsari dengan Prabu Pamengkas ini dianugrahi seorang putra bernama Raden Margono atau Sunan Atas Angin I. Raden Margono awalnya memiliki keyakinan yang sama dengan ayahnya tapi ketika berjalannya waktu, Raden Margono mulai belajar syariat Islam dan akhirnya Raden Margono masuk Islam. Ini karena Raden Margono tidak ingin mengikuti keyakinan yang dimiliki oleh ayahnnya yaitu memiliki keyakinan agama Hindhu. Maka beliau diusir oleh ayahnya dan tidak dianggap sebagai putranya karena ketidak patuhannya. Pada saat itu pula Raden Margono pergi menuju kearah timur sampai di tlatah Maospati Magetan-Madiun di Desa Kincang. Keterangan tersebut dipaparkan oleh Kyai Nurul Islam, beliau mengatakan bahwa Raden Margono menikah dengan salah satu putri dari keturunan Sunan Ampel dan memiliki dua orang putra yang bernama  Ki Ageng Rendeng atau disebut sebagai Sunan Atas Angin II pada 1478 M, dan Ki Ageng Sepet Aking atau disebut sebagai Sunan Atas Angin III sekitar abad ke -15.

Raden Margono bersama kedua anaknya yaitu Ki Ageng Rendeng dan Ki Ageng Sepet Aking berpindah ke Desa Kincang. Sang ayah berganti nama menjadi Sunan Atas Angin I. Beliau pindah bersama dengan kedua putranya di Desa Kincang sampai beliau tutup usia. Kasunanan diganti oleh seorang putra pertamanya yang juga memiliki gelar Sunan Atas Angin II atau Ki Ageng Rendeng. Selain itu Sunan Atas Angin II juga dikenal sebagai Wasih Pucang Anom. Pemberian gelar Ki Ageng Rendeng merupakan pemberian dari masyarakat Kincang Maospati Magetan-Madiun, saat di Desa Kincang mengalami kekeringan pada musim kemarau, sehingga banyak masyarakat megeluh akan kejadian tersebut, maka dari itu Ki Ageng Rendeng datang di tengah-tengah masyarakat untuk membantu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemudian masyarakat mengetahui bahwa Ki Ageng Rendeng memiliki kesaktian dalam berdoa yakni dapat mendatangkan hujan di waktu musim kemarau di daerah yang dikehendakinya.

Sedangkan Ki Ageng Sepet Aking juga memiliki gelar yang sama seperti Ayah dan Kakak kandung pertamanya yaitu sebagai kesunanan Atas Angin yang ketiga. Beliau mendapatkan gelar tersebut karena atas kemampuan yang dimilikinya dalam berdoa, seperti kakak kandung pertamanya. Tetapi seorang Ki Ageng Sepet Aking memiliki sedikit perbedaan dari saudara-saudaranya. Perbedaan tersebut terlihat ketika beliau menunjukkan kemampuannya pada masyarakat Kincang, Maospati, Magetan-Madiun dalam menumbuhkan tumbuhan yang mengalami kekeringan di saat musim kemarau tiba dengan waktu yang relatif singkat.

Menurut KH. Moch Djamaluddin Ahmad, mengatakan bahwa selain Ki Ageng Rendeng memiliki kesaktian dalam berdoa meminta hujan, Ki Ageng Rendeng juga memiliki kuda bersayap yang bernama Jaran Sembrani dimana dalam setiap perlombaan adu kuda Ki Ageng Rendeng selalu memenangkan perlombaan. Maka ketika beliau wafat, pemilik kuda beserta kudanya bertirakat disekitar makam Ki Ageng Rendeng, ketika itu pula kuda tersebut menang dalam perlombaan.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai